Foto AJB yang diteken Sekda Kabupaten Bogor saat menjabat Camat Cariu tahun 2001 silam
Tanjungsari, Bogorupdate.com
Munculnya permasalahan lahan Kavling PT. Panorama Nusa Property (PNP) milik Perhutani yang Akte Jual Beli (AJB) nya di teken Sekertaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Burhanudin, di Desa Sukarasa, Kecamatan Tanjungsari, saat dirinya menjabat camat Cariu tahun 2001 silam, hingga silang pendapat antara Perhutani BPKH Jonggol dengan Komisi 1 DPRD Kabupaten Bogor, terus disoal sejumlah pihak.
Salah satunya Ketua KNPI Kabupaten Bogor, Hasyemi Faqihudin menyarankan persoalan ini dibawa ke ranah hukum. Menurutnya, Praktek administrasi pertanahanan yang terjadi antaran Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Jonggol Dengan PT. Panorama diduga adanya praktek oknum memanfaatkan tanah, atas hak tersebut.
“Sebaiknya persoalan ini dibawa ke ranah hukum yang dapat menentukan benar dan salah. Jikalau memperhatikan prosedur, tentunya waktu itu adanya AJB harus disertai girik. Sebaliknya pun andai BPKH memiliki bukti sertifikat yang dikeluarkan BPN sebagai kawasan hutan negara, tidak mungkin keberadaanya tidak diketahui pemerintah daerah, dalam hal ini baik kepala desa maupun yang lainnya. Jika persoalan ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan merugikan pemilik kavling,” ungkapnya kepada Bogorupdate.com, Jum’at (4/6/21).
Hasyemi berpendapat harus ada tim khusus yang bertugas untuk memecahkan permasalahan ini. Karena hal ini, akan menjadi sengketa yang berkepanjangan, tentunya akan berdampak dan menjadi kerugian besar untuk para konsumen PT. PNP.
“DPRD Kabupaten Bogor melalui komisi 1, harus segera membentuk tim khusus untuk menulusuri kebeneran yang ada. Jika hal itu dianggap merugikan, maka konsumen harus segera melakukan laporan atau pernyataan yang dikirimkan ke berbagai pihak, baik itu kementrian Kehutanan dan lain sebagainya, dan juga meminta pengembalian keuangan atau ganti rugi kepada PT PNP sebagaimana perjanjian hak dan kewajiban konsumen sesuai perjanjian awal. Yaitu menjadi pembeli yang menerima tanah diatas hak yang tidak bersengketa,” paparnya.
Dalam hal, ini Hasyemi pun Sedikit menjabarkan atas perhatiannya pada konflik yang sering terjadi. “Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber konflik diantara pihak pemangku kepentingan. Diantaranya konflik penerbitan bukti-bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasi sebagai kawasan hutan,” tuturnya.
Beberapa Perundang-undangan pun turut disampaikan Hasyemi, seperti, Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang Perncanaan Hutan, Permenhut Nomor P.50/menhut/-II/2011 tentang pengukuhan kawasan hutan yang menurutnya masih memiliki kelemahan.
Ada juga, UU No 41/1999 Tentang Kehutanan, Pada Pasal 5 Ayat 3 UU No 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Pusat. Dalam Permen No 44/2003 Tentang Perencanaan Kehutanan yang turut disampaikan Hasyemi.
Dengan ketentuan ini, maka kewenangan penetapan kawasan hutan negara hanya berada ditangan menteri kehutanan, bukan di tangan Pemerintah Pusat.
“Jika dibandingkan dengan UU No 5/1950 tentang pokok Agraria (UUPA) maka akan bertentangan dengan pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah, dimana penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh BPN,” pungkasnya.
(Jis/Bing)