Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi. (Ist)
Cibinong, BogorUdpate.com – Setelah Rekapitulasi Nasional selesai pada 20 Maret, bukan berarti dinamika politik pemilu 2024 sudah selesai.
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi mengungkapkan bahwa ada 4 hal yang masih akan mewarnai Pemilu 2024 sebelum ditetapkan perolehan suara dan kursi pada bulan Agustus mendatang.
Pertama, gugatan ke Mahkamah Kosntitusi. Saluran konstitusi bagi pencari keadilan pada pemilu 2024 bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Di MK inilah peserta pemilu akan menggugat hasil pemilu 2024 jika terdapat hal yang merugikan peserta pemilu, baik partai politik, calon anggota legislatif, maupun pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,” katanya kepada Wartawan, Kamis (21/3/24).
Namun, lanjut Kang Yus sapaan akrabnya, masalahnya adalah bagaimana tingkat kepercayaan terhadap MK setelah beberapa kasus etika menerpa MK pada tahapan pemilu sebelumnya.
“Tentu ini masalah yang harus diyakinkan oleh MK, agar berbagai guagatan dipastikan diproses secara adil,” tegasnya.
Kedua, kata Kang Yus, isu hak angket. Hak angket untuk membongkar dugaan kecurangan dan pelanggaran pemilu 2024 sudah digulirkan di lingkungan DPR RI, bahkan banyak disuarakan juga desakannya oleh elemen-elemen masyarakat sipil.
Namun dengan melihat perkembangan sampai saat ini, saya melihatnya tidak ada kemajuan signifikan, bahkan cenderung stagnan. Bahkan sampai saat ini baru beberapa orang saja anggota DPR RI yang sudah menandatangani hak angket tersebut.
Bahkan belum ada satu partai politikpun yang secara tegas mengajukan hak angket tersebut. Sehingga bagi saya hak angket hanyalah “pepesan kosong”.
“Sangat mungkin digulirkan hanya sekedar menaikan posisioning politik. Padahal masa jabatan DPR RI 2019-2024 akan segera selesai. Tapi bukan masalah waktu, tapi masalah keseriusan dalam mengajukan hak angket tersebut,” ujarnya.
Ketiga, Proses Hukum Pidana Pemilu. Indikasi pelanggaran pidana pemilu selama tahapan rekapitulasi hasil suara pemilu 2024 sempat menyeruak ke permukaan, seperti manipulasi data, pemalsuan tandatangan, pergeseran suara, bahkan politik uang.
Sehingga dengan berbagai dugaan dan informasi tersebut, diharapkan Bawaslu mengambil peran aktif untuk menelusuri berbagai dugaan tersebut.
“Walaupun kita fahami penanganan pelanggaran di bawaslu dibatasi waktu yang ketat, sehingga cepat kadaluarsa dan proses tidak bisa dilanjutkan,” jelasnya.
Kemudian yang keempat, soal pidana umum. Selain bisa dijerat dengan undang-undang pemilu, kasus berbagai kecurangan tersebut bisa dijerat menggunakan undang-undang tipikor dan pidana umum.
Seperti kasus dugaan gratifikasi yang dilakukan oleh salah satu calon anggota legislatif kepada salah satu anggota KPU Jawa Barat.
“Akan lebih menarik jika diusut dan diproses hukumnya dengan menggunakan undang-undang tipikor dan pidana umum. Karena selama tidak diproses, maka tidak akan pernah mendapatkan kepastian hukum dan tidak pernah menemukan keadilan dalam kasus dugaan tersebut,” tukasnya. (Jis)