Scroll untuk baca artikel
HomeLifestyleNews

Pengaruh Fisiologi Pasca Mortem Daging Pada Mutu Daging Sapi

×

Pengaruh Fisiologi Pasca Mortem Daging Pada Mutu Daging Sapi

Sebarkan artikel ini

Disusun oleh :
Program Studi Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Nomor HP : 0821 2355 8612
Email : nurulfatimah111727@gmail.com

, BogorUpdate.com adalah produk dari peternakan yang memiliki sumber protein hewani dan asam amino essensial. Definisi berbeda dari karkas, dimana daging tidak lagi memiliki tulang sedangkan karkas masih memiliki tulang. Komposisi dari daging sapi menurut Lawrie (2003), berupa air sebesar 75%, protein sebesar 19%, substansi non protein yang dapat larut sebesar 3,5%, dan lemak sebesar 2,5%. Kadar air yang tinggi pada daging sapi menyebabkan tingginya area yang dapat digunakan oleh bakteri untuk dapat berkembang biak yang dapat menyebabkan kerusakan dan pembusukan. Hal-hal yang berperan dalam pencemaran bakteri terhadap daging antara lain adalah pekerja (berasal dari rambut, hidung, mulut, jari, kuku, alas kaki), peralatan untuk menyembelih, lingkungan di sekitar tempat penyembelihan, dan proses pengemasan dari daging. Daging yang akan dikonsumsi haruslah terhindar dari pencemaran bakteri dan memiliki kualitas yang baik berupa aroma, warna, rasa, dan tekstur. Sehingga mutu baik dari daging akan sampai ke tangan konsumen.

Masa pasca mortem merupakan masa setelah penyembelihan. Walau sudah mengalami penyembelihan, masih terdapat reaksi biokimia yang menyebabkan perubahan fisiokimia pada daging. Faktor kimia yang dimaksud berasal dari jenis spesies, kesehatan sebelum penyembelihan, bagian dari daging, pengemasan daging, dan penyimpanan daging.

Daging terdiri dari tiga jaringan utama berupa jaringan ikat, otot, dan lemak. Terdapat fase rigor mortis yang merupakan pengerasan pada jaringan otot yang sebelumnya lentur dan lunak.
Selanjutnya adalah fase pasca rigor, dimana daging yang keras akan kembali empuk (Huff-lonergan & Lonergan, 2005). Fase rigor mortis terjadi karena penurunan dari jumlah ATP pada daging akibat berhentinya proses respirasi. Sedangkan, fase pasca rigor terjadi karena adanya pemecahan cross linking yang terjadi pada protein aktin dan myosin serta penurunan dari nilai pH yang menyebabkan aktifnya enzim katepsin dan melonggarkan struktur protein. Fase pasca rigor dapat dilakukan dengan cara melakukan pelayuan pada daging (aging) yang dilakukan dengan cara dengan menyimpan daging selama waktu dan suhu tertentu, misalnya pada suhu 3-4℃ selama 7-8 hari atau pada suhu 40℃ selama 24 jam. Proses tersebutlah yang akan membentuk asam laktat yang berlangsung sempurna lalu menurunkan kadar pH pada daging, pengeluaran yang sempurna pada darah, dan keringnya lapisan luar dari daging yang menyebabkan perlambatan pada pertumbuhan bakteri.

Sirkulasi darah dari hewan akan mengalami perhentian setelah proses penyembelihan, sehingga mempengaruhi keadaan daging karena hilangnya proses sirkulasi darah pada hewan. Pasca mortem pada hewan menyebabkan terjadinya penurunan pH dari daging. Nilai dari pH adalah salah satu kriteria dalam penentuan kualitas dari daging. Ph daging pasca mortem normalnya ada di kisaran 5,5-5,8, sedangkan PH daging hewan yang hidup adalah 5,46-6,29. Penurunan dari pH ini akan menyebabkan perubahan warna pada daging menjadi lebih pucat yang disebabkan karena adanya produksi asam laktat yang berasal dari metabolism anaerobic. Jika pH pasca mortem mengalami peningkatan, maka akan terdapat peningkatan aktivitas dari bakteri yang dapat menyebabkan kebusukan. Sehingga diperlukan penyimpanan yang baik di dalam suhu rendah karena suhu optimal dari perkembangan bakteri adalah 37℃ (Jay, 1978).

Aw (activity water) merupakan salah satu penyebab dari pertumbuhan bakteri dan aktivitas kimia pada daging. Makin tinggi angka Aw, makin cepat laju kerusakan pada daging. Aw memiliki
hubungan dengan kadar air, dimana makin tinggi kadar air maka angka dari aw akan semakin tinggi. Kadar air di dalam daging akan turun seiring dengan penurunan dari pH. Kadar air juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan dari konsentrasi di antara pelarut dan zat yang terlarut karena adanya proses perpindahan air dengan melalui selaput yang bersifat permeable ke konsentrasi
rendah dari konsentrasi yang tinggi (Zulfahmi, 2010). Kemudian ada daya ikat air yang dipengaruhi oleh pH daging, jumlah ATP pada jaringan daging, proses pelayuan pada daging, umur dari sapi, jenis kelamin dari sapi, spesies dari sapi, pakan dari sapi, kesehatan sapi, dan perlakuan pada sapi sebelum penyembelihan (Huff-lonergan & Lonergan, 2005). Penyebab dari rendahnya daya ikat air pada fase rigor mortis karena adanya ikatan kuat antara filament aktin dan myosin yang akan membentuk aktomiosin yang dapat mengikat air. Setelah melewati fase rigor mortis, terjadi degradasi aktomiosin yang berasal dai enzim proteolitik dan membuka ruang untuk masuknya air. Rata-rata kadar air pada daging adalah 75,83% dan titik minimal dari dari daya ikat adalah 5,3-5,5 (Kuswati, 2006). Menurut Nurwantoro et al (2012), kandungan dari lemak intramuskuler yang terdapat di dalam otat juga dapat mempengaruhi kadar air yang berada di
dalam daging. Lemak intramuskuler sendiri dipengaruhi oleh umur sari hewan ternak, sehingga ternak dengan umur yang lebih muda memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada lemak yang lebih tua. Kadar air dan daya ikat akan sangat berpengaruh pada kebusukan daging, warna, tekstur, keempukan, dan susut masak.

Untuk sampai ke tangan konsumen, daging haruslah melewati pengawasan dan standarisasi mutu. Faktor yang mempengaruhi mutu dari daging adalah sifat fisik berupa warna, tekstur, dan
aroma. Warna dari daging yang baik adalah merah cerah, segar, tidak kusam, dan memiliki lemak yang berserat putih. Daging yang busuk memiliki warna kehijauan sehingga tidak layak dikonsumsi. Tekstur daging yang baik adalah daging yang memiliki tekstur yang kenyal, padat, dan pada saat disentuh akan kembali ke bentuknya semula. Jika daging yang ditekan tidak kembali ke posisi semula dan lembek saat ditekan, maka daging tersebut adalah daging dengan kualitas buruk. Faktor yang dapat mempengaruhi tekstur dari daging adalah kandungan jaringan ikat, ukuran berkas otot, dan keaktifan dari enzim kalpain. Selain itu, juga ada faktor lain berupa genetik
(spesies), umur sapi, jenis kelamin sapi, dan tingkat stress dari sapi. Kemudian ada aroma, dimana aroma yang ditimbulkan oleh daging segar adalah bau yang segar dan tidak berbau berlebihan. Pada daging yang buruk, akan tercium bau yang tajam dan berbau amis (Winarno, 2008). Lemak juga ikut andil dalam pengaruh terhadap kualitas pada daging. Lemak yang dimaksud adalah lemak marbling yang terletak di antara otot (intramuscular) yang berpengaruh pada cita rasa dari daging karena dapat mempertahankan keutuhan dari daging saat pemasakan.

Sebelum membeli daging pastikanlah daging tersebut memiliki mutu yang layak. Bagi penjual sekaligus penyembelih, pra penyembelihan dan saat pembelihan ikut berperan pada mutu dari daging. Oleh sebab itu, daging haruslah disembelih sesuai dengan prosedur yang disarankan agar tidak merusak mutu dari daging. Dengan terjaganya mutu, maka daging yang akan sampai ke tangan konsumen tanpa adanya racun dan tidak berbahaya. Kemudian, penjual daging dapat
memperperpanjang waktu penyimpanan yang akan memberikan nilai tambah pada daging dan tidak adanya pengurangan dari nilai ekonomis daging.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *