Oleh: Istiqomah Wulandari
Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
No. Hp : 089603272751
Email : istiqomah.wulandari21@mhs.uinjkt.ac.id
Atrikel, BogorUpdate.com – Di era digitalisasi saat ini, perubahan terus terjadi di semua sektor, seiring kemajuan teknologi, tidak jarang antara perusahaan yang berada di lingkup sektor yang sama bersaing hingga menjatuhkan satu sama lain untuk memaksimalkan keuntungan. Agar tetap kompetitif dan dapat meningkatkan produktivitas, banyak perusahaan yang menerapkan supply chain atau manajemen rantai pasok. Sistem agribisnis di Indonesia masih menerapkan sistem yang otonom dan mandiri, yang seringkali menimbulkan ketidakseimbangan dalam proses pendistribusian produknya.
Untuk itu perlu dibentuk suatu pola interaksi komunikasi dan distribusi antara pelaku yg berada pada sistem pertanian yang bisa mengurangi perkara-perkara tersebut, yaitu dengan mengimplementasikan konsep Supply Chain Management atau rantai pasok.
Supply chain management (SCM) adalah konsep pengelolaan produk melalui integrasi antara pemasok, produsen, distributor, gudang dan pengecer, serta konsumen. Pada produk pertanian membutuhkan penangan khusus mulai dari aktivitas produksi (hulu) hingga aktivitas akhir (hilir) yaitu produk sampai ketangan konsumen.
Dalam Supply Chain Management di bidang pertanian terdapat komponen-komponen utama, salah satu komponennya yaitu struktur SCM. Pada struktur SCM produk pertanian terdiri dari, Pemasok, Petani, Kolektor (Pengumpul), Industri Pengolah makanan, Agen, Pengecer, dan konsumen. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar aliran umum distribusi produk pertanian.
Aliran Umum Distribusi Produk Pertanian
Pemasok bertindak sebagai penyedia produk pertanian seperti benih, pupuk, pestisida, mesin dan alat bantu lainnya. Kolektor atau pengumpul bertanggung jawab untuk mengumpulkan hasil produksi dan mendistribusikannya langsung ke pasar atau untuk proses pengembangan selanjutnya. Beberapa petani dibiayai oleh pengumpul untuk aktivitas produksi seperti menanam produk mereka dan mendistribusikannya kepada pengepul. Akibatnya, pengumpul memainkan peran yang sangat strategis dalam sistem pertanian Indonesia. Industri pengolahan pangan berperan dalam mentransformasikan hasil pertanian petani menjadi pangan olahan dan bahan pangan. Agen, pengecer, dan konsumen adalah anggota terakhir dari sistem SCM dalam proses penjualan dan konsumsi. Distributor, pengecer dan konsumen adalah anggota paling hilir dari SCM yang terlibat dalam penjualan dan konsumsi produk pertanian. Pada gambar Aliran Umum Distribusi Produk Pertanian menunjukkan aliran informasi (dari kanan ke kiri) dan aliran produk/material (dari kiri ke kanan). Faktor eksternal, seperti pemerintah dan lembaga independen, mempengaruhi sistem melalui regulasi, kebijakan harga, aspek teknis, dan banyak lagi.
Pada setiap anggota SCM memiliki peran masing-masing yang saling berkaitan, sehingga berhasil atau tidaknya pengelolaan produk tergantung pada rantai pasoknya. Keberhasilan implementasi SCM sangat dipengaruhi oleh kedisiplinan para pelaku SCM untuk tetap berpegang pada aturan yang ada. Untuk itu dibutuhkan manajemen yang dapat menjalankan SCM sesuai dengan perencanaan.
Informasi sangat penting untuk kinerja rantai pasok karena informasi merupakan dasar untuk melaksanakan proses rantai pasok dan dasar bagi manajer untuk mengambil keputusan. Simchi-Levi dkk (2004) mengartikan teknologi informasi (TI) sebagai alat-alat, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, yang digunakan untuk mengetahui keberadaan informasi dan menganalisis informasi tersebut untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi rantai pasok.
Produk pertanian adalah produk yg bersifat gampang rusak sebagai akibatnya membutuhkan perhatian spesifik mulai berdasarkan kegiatan produksi sampai ke kegiatan pengiriman pada konsumen. Selama pada proses pengiriman, produk pertanian sangat rentan mengalami kerusakan fisik, kimia, dan biologi lantaran disebabkan banyak hal misalnya, alat transportasi yang digunakan, kemasannya, suhu, keadaan jalanan, dan lain sebagainya.
Oleh lantaran itu, diperlukan menggunakan sebuah teknologi mampu secara cepat merespon & mengirimkan kabar bila terjadi suatu perubahan. Solusi yang ditawarkan yaitu menggunakan implementasi teknologi Radio Frequency Identification (RFID). RFID adalah teknologi pengambilan data elektronik yang bertujuan untuk mengidentifikasi, melacak, dan menyimpan informasi secara otomatis. Informasi disimpan dalam tag menggunakan gelombang radio. Tag ini merupakan komponen kunci dari RFID berupa tag identifikasi yang berisi informasi yang dapat diprogram dan dikendalikan oleh komputer tanpa perlu berhadapan langsung seperti barcode. Dibandingkan dengan teknologi barcode tradisional, RFID memiliki banyak keunggulan, seperti kapasitas penyimpanan yang besar, pembacaan jarak jauh, penulisan dan pembacaan berulang, keamanan data yang lebih baik dan kemampuan membaca beberapa tag secara bersamaan (Lin, 2009).
Di Era Industri 4.0, Indonesia diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja SCM khususnya produk pertanian, dengan implementasi teknologi RFID. SCM yang lebih baik (efektif dan efisien) ditandai dengan kelancaran arus produksi, informasi, dan pergerakan keuangan untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Dengan pemanfaatan TI untuk mendukung segala aktivitas, baik informasi maupun pergerakan produk, sistem informasi yang ada harus selalu up to date, serta menjamin keamanan dan kehandalannya. Untuk itu diperlukan perencanaan yang detail dan spesifik.