Ilustrasi kopi pait. (Ist)
KOPI PAIT
Oleh: Asep Syahmid
Opini, BogorUpdate.com – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) boleh dikatakan ibarat kompetisi sepakbola Liga 2 atau level 2 setelah ajang Pilpres yang menjadi Liga 1 nya pesta demokrasi di Indonesia.
Meskipun sebagai pertandingan level 2, semua Partai Politik akan mengerahkan semua kekuatannya untuk memenangkan sebuah pesta demokrasi yang akan menentukan kepala daerah yang baru.
Atmosfer Pilkada sebenarnya sangat rawan dengan gesekan antar pendukung Pasangan Calon (Paslon) dan juga bisa menimbulkan gejala-gejala pecah kongsi.
Karena tak menutup kemungkinan pasangan petahana akan menjadi rival atau kompetitor yang kuat dalam Pilkada serentak 2024.
Karena “Ruh” nya politik adalah sebuah kepentingan yang abadi, maka tak heran fenomena Pecah Kongsi dan Politik Kongsi akan menjadi gejala yang tak bisa dihindari oleh partai politik dalam beberapa bulan kedepan menuju Pilkada Serentak bulan November 2024.
Sudah menjadi hal yang lumrah dan menjadi kebiasaan pecah kongsi pada partai satu koalisi dalam menghadapi hajatan Pilkada. Tidak ada lawan abadi dan kawan abadi, menjadi sampul utama dalam wajah politik dimanapun. Karena semua partai politik punya kepentingan dan ambisi masing-masing.
Gejala pecah kongsi bisa terjadi dalam satu partai yang memiliki lebih dari satu calon yang sama-sama berharap surat rekomendasi maju dalam kontestasi Pilkada.
Pecah kongsi juga, bisa dipicu berawal dari penjaringan calon kepala daerah yang dilakukan partai politik yang hasilnya dianggap kurang memuaskan partai politik atau calon kepala daerah yang sebelumnya berada dalam koalisi yang sama.
Pecah kongsi sangat rentan terjadi dalam Pilkada kali ini. Bahkan, koalisi Pilpres belum tentu akan berjalan mulus pada semua daerah di Indonesia.
Karakter politik, Kultur politik dan elektabilitas para calon yang diusung menjadi kepala daerah, tentunya jadi acuan utama dalam menentukan koalisi Pilkada mendatang.
Siapa yang menjamin koalisi Pilpres bisa bertahan pada ajang Pilkada semua daerah? Jika semua partai punya agenda politik masing-masing dalam Pilkada.
Masyarakat juga tak bisa memprediksi partai politik yang sebelumnya bersebrangan secara ideologi ataupun berbeda dukungan pada Pilpres ujug-ujug bisa menjadi “Pengantin” yang serasi dalam Pilkada 2024.
Jika gejala pecah kongsi terjadi sebelum pelaksanaan pesta demokrasi dimulai, maka hal ini akan sangat rawan memicu perang hujatan dengan narasi kebencian timbul dari partai politik yang sebelumnya berada dalam perahu yang sama pada saat Pilpres ataupun pada Pilkada sebelumnya.
Pecah kongsi bisa terjadi jika partai politik lebih mengedepankan kalkulasi untung rugi jika calon yang diusungnya menjadi orang nomor satu atau menjadi orang nomor dua dalam Pilkada masing-masing daerah.
Jika Partai Politik belum apa-apa sudah kalkulasi untung rugi, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak pasangan calon kepala daerah “Cerai Muda” ketika sudah memenangkan kontestasi Pilkada.
Apalagi, saat akan penyusunan kabinet SKPD dan penentuan Floating Proyek lebih dominan dikuasai kelompok nomor satunya, maka Pecah Kongsi tinggal menunggu waktu.
Gejala Pecah kongsi sebenarnya bisa dikendalikan, jika semua partai politik dan calon kepala daerah bisa mengedepankan HATI untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat dan daerahnya, serta bisa mengesampingkan AMBISI Pribadi atau kelompoknya.
Sebelum Pilkada dilangsungkan, semua calon pasti membuat visi dan misi yang indah dan bagus.
Visi dan misi yang bagus itu acapkali hanya sebagai gincu saja. Karena tak jarang ketika sudah terpilih, maka program utama kepala daerah adalah melakukan program balik modal lebih awal atau sudah ditunggu oleh Bohir politiknya yang meminta skema proyek dan investasi yang menjadi bagian dari sebuah perjanjian atau komitmen politik.
Apabila itu yang terjadi, maka jangan harap ada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerahnya. Karena kepala daerah terpilihnya sudah terjebak Politik Bohir.
Pilkada selain memunculkan pecah kongsi juga bisa muncul budaya politik kongsi yang dilakukan para partai politik dalam mencari mitra koalisi yang satu frekuensi untuk memenangkan Pilkada.
Jangan sampai pecah kongsi dalam dukung mendukung calon kepala daerah di Pilkada 2024 menimbulkan banyak pasangan suami istri yang pisah ranjang atau saling sobek selimut tidurnya yang dipicu pertengkaran “Ideologis” akibat beda dukungan dalam Pilkada. (**)