BOGOR – UPDATE
Gonjang ganjing cerita lama pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Bogor wajib mendapat sorotan hukum. Pasalnya, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kecamatan kebersihan yang bertanggungjawab terhadap operasi pengangkutan sampah di area kerjanya, dimana terindikasi adanya aksi Pungutan Liar (pungli) terstruktur dari hilir hingga ke hulu atas perintah atasan.
Parahnya lagi, pungutan tersebut menurut kepala bidang Pengelolaan Sampah pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Atis Tardiana beranggapan jika hal itu, merupakan cerita lama dan dinilai wajar.
“Adanya pungutan itu sudah ada sejak saya belum di menduduki di Bidang pengelolaan Sampah pada DLH, tetapi yang saya tahu itu cerita lama,” jelas Atis kepada bogorupdate.com belum lama ini.
Sementara menurut Narasumber terpecaya yang enggan disebut namanya itu membeberkan jika dugaan pungutan bukan tanpa alasan, karena adanya temuan serah terima dana yang dilakukan berulang-ulang setiap bulannya, dengan bukti kwitansi yang langsung dikeluarkan oleh kantor UPT Kebersihan setempat yang telah disertai stempel dinas kebersihan berserta materai 6000 berikut dengan tandatangan.
“Dalihnya bentuk jasa angkutan sampah ini berawal dari salahsatu koordinator pengangkut sampah komplek perumahan di Kecamatan Ciampea dimana saya tinggal. Terbiasa melakukan Stor uang hingga Rp1.5 juta rupiah perbulan, dimana sebagai bentuk dalam mengangkut sampah diareal blok komplek perumahan kami ini,” ucapnya.
Ia melanjutkan, kaitan dengan armada truk pengangkut sampah dirinya mengetahui persis, karena berbicara langsung pada oknum-oknum tersebut, bahkan sempat merekam. Selain itu, sambung dia, bahwa UPT Dinas Kebersihan setempat memiliki 17 truk angkutan sampah yang harus dikelola, dengan truk sampah yang ada. Maka dijumlahkan setiap kordinator satu truk dengan beban setoran yang sudah disepakati perbulannya.
“Jadi kalau ditotal 40 cabang kantor UPT kecamatan di Kabupaten Bogor. Jumlahnya ditaksir nilainya bisa sampai miliaran rupiah setiap tahunnya,” kata dia.
Menyikapi itu, Ketua LSM Analisis Riset Monitoring Indonesia (ARMI)n Gheno menyebut jika pelaku pungli tidak hanya dapat dijerat dengan pasal KUHP. Pelaku itu juga memungkinkan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Pada umumnya praktik pungutan liar itu dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Jika pelaku merupakan pegawai negeri sipil, maka akan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal enam (6) tahun penjara lamanya,” tegasnya.
Namun untuk diketahui, sambung Gheno, ada ketentuan pidana yang ancaman hukumannya lebih besar dari itu, yakni Pasal 12 e UU Tipikor.
“Pungli itu bisa kita katakan sebagai korupsi, ada Pasal 12 e di sana dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara,” tambahnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, apabila di lihat Case By Case, apakah memenuhi unsur itu (Pasal 12 e UU Tipikor) atau tidak. Jika praktik pungutan liar yang diungkap hanya mengandung unsur pemerasan, maka perkara itu akan ditangani aparat kepolisian setempat. Namun, menurutnya, jika praktik itu mengandung unsur korupsi, kejaksaan dapat ikut menyelidiki sekaligus mengambil tindakan.
“Kami meminta kepada Tim saber pungli Kabupaten Bogor agar dapat memberikan efek jera terhadap oknum-oknum atau pelaku penyelenggara pemerintah. Sehingga praktik pungli di sektor pelayanan publik tidak terulang lagi seperti perihal ini,” tukasnya. (Rie)
Editor: Sahrul