Scroll untuk baca artikel
Bogor RayaLifestyle

Diperlukan Tiga Bumi untuk Memenuhi Kebutuhan Manusia pada Tahun 2050

×

Diperlukan Tiga Bumi untuk Memenuhi Kebutuhan Manusia pada Tahun 2050

Sebarkan artikel ini

Lifestyle, BogorUpdate.com
Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Manusia membutuhkan lahan untuk bertahan hidup, menghasilkan pangan dan sebagai tempat tinggal. Sayangnya jumlah penduduk yang meningkat tidak dibarengi dengan peningkatan luas lahan. Hal ini menyebabkan bumi semakin terbatas kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia.

“Konsumsi penduduk dunia saat ini memerlukan sumberdaya setara dengan 1,7 bumi. Jika hal ini terus berlanjut maka tahun 2050 diperlukan sebanyak tiga bumi untuk mencukupi kebutuhan manusia. Hal ini disebabkan penurunan kualitas lingkungan karena ulah manusia,” ungkap Dr Ekawati Sri Wahyuni, Sekretaris Progam Studi Pascasarjana Sosiologi Pedesaan, IPB University, pada kegiatan webinar “Fema Wise” yang digelar oleh Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Jumat (24/7/20).

Dr Ekawati menjelaskan bahwa salah satu faktor yang dianggap bertanggung jawab atas penurunan lingkungan adalah penduduk manusia. Penduduk mempengaruhi lingkungan alam melalui dinamikanya. Mentransformasi lingkungan melalui teknologi, kelembagaan, kebijakan dan budaya.

Menurutnya juga, kelompok umur muda memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan migrasi ke kota. Akibatnya konsumen di kota terus naik, mengakibatkan produksi juga ikut naik. Namun, masalahnya tidak semua perusahaan atau produsen menggunakan praktik dan perilaku produksi yang berwawasan lingkungan.

Pembicara selanjutnya, Dr Lilik Noor Yuliati, dosen IPB University yang juga Kepala Divisi Ilmu Konsumen dan Ekonomi, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema) membenarkan fenomena kerusakan lingkungan ini. Menurutnya perilaku konsumtif dan tidak ramah lingkungan di perkotaan terus meningkat seiring terus meningkatnya jumlah penduduk kota. Bahkan tahun 2020 diperkirakan peningkatan penduduk kota mencapai angka 56,7 persen.

“Peningkatan penduduk kota menyebabkan peningkatan jumlah limbah, emisi mobil dan sampah. Pada masa pandemi perilaku tidak ramah lingkungan juga meningkat. Seperti penggunaan alat pelindung diri (APD) sekali pakai, penggunaan sumber energi lebih tinggi dan pola konsumsi meningkat. Secara tidak sadar hal ini tentu akan memberikan dampak negatif pada lingkungan,” ungkap Dr Lilik.

Selanjutnya Dina Nurdinawati, MSi, dosen IPB University di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fema menjelaskan pengurangan jumlah petani muda di desa. Fenomena ini terjadi karena migrasi pemuda ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan menurut sensus pertanian terjadi penurunan sebanyak 6,37 juta rumah tangga petani hortikultura.

“Lenyapnya jutaan petani dalam sepuluh tahun terakhir merupakan pertanda buruk. Saat ini petani kita 50,4 persennya berusia 45-64 tahun dengan umur median 50 tahun. Hal ini diperparah dengan terjadinya ketimpangan penguasaan lahan, dengan indeks gini 0,64. Pemuda harus mengoptimalkan potensinya serta bisa hadir menjadi petani model baru,” ungkap Dina Nurdinawati.

Dr Bayu Eka Yulian, dosen IPB University lainnya dari Departemen SKPM yang juga peneliti Pusat Studi Agraria (PSA), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University juga membahas tentang kerusakan lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit. Menurutnya ekspansi perkebunan sawit dalam skala besar menyebabkan perubahan lanskap ekologi. Menyebabkan perubahan tata guna lahan dan sistem mata pencaharian masyarakat.

“Monokulturisasi tanaman menyebabkan pola strategi nafkah masyarakat tidak beragam lagi. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang tinggi masyarakat terhadap sawit. Seharusnya ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar juga diikuti oleh ekspansi masyarakat,” tutup Dr Bayu Eka Yulian.

 

 

 

 

(ipb/endi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *