Dilema PPE, Melepas Kepentingan dan Politik Apalah apalah di BUMD

Oleh: Saiful Kurnia
Wakil Pemimpin Redaksi BogorUpdate.com

Opini, BogorUpdate.com
Ramainya pemberitaan miring salah satu unit bisnis Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor bernama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT. Prayoga Pertambangan dan Energi (PPE) jadi salah satu alasan kuat kenapa akhirnya aparat penegak hukum harus jujur menyikapinya. Sebab kalau tidak maka akan ada anggapan miring juga, penegak hukumnya akan dianggap impoten untuk menentukan tindakan yang sebenarnya menjadi wewenangnya.

Namun PPE adalah salah satu dari sekian banyak Badan usaha milik pemerintah yang sejak dahulu kala lebih banyak bisa beradaptasi dengan perselingkuhan. Di tingkat pusat, badan usaha pemerintah bahkan lebih dikenal dengan sapi perah oknum pejabat dan kroninya. Ujungnya, unit usaha ini kalau sebelumnya diharap mampu bisa menjadi penggerak ekonomi melalui usaha yang di tekuni, belakangan lebih banyak menjadi tempat skandal untuk menggerogoti modal usaha. Jangankan menjadi untung, modal yang berasal dari penyertaan pemerintah ini kerap menguap tak berbekas lagi.

Di Pemkab Bogor, PPE yang di dirikan atas dasar Peraturan Daerah No. 3 tahun 2011 berupaya mengeksplorasi potensi sumber daya alam yang ada di Kabupaten Bogor. Idealnya gagasan ini pun sampai mengarah pada optimisme untuk bisa memetik untung besar. Didalamnya, Perda yang di tanda tangani oleh Bupati terdahulu, Rahmat Yasin inipun bergulir dengan semangat agar berdirinya PPE bisa menciptakan lapangan kerja melalui putaran ekonomi yang di ciptakan.

Lahirnya Perda ini juga yang belakangan menjadi landasan Pemkab Bogor menggelontorkan fulus hingga Rp 164 Miliar ke pundi PPE secara bertahap. Harapanya, semua keperluan PPE untuk mengeksploitasi potensi tambang bisa bergulir dan teori Perda bisa terwujud setidaknya di dua hal, PPE bisa menyetor Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus bisa menjadi unit bisnis yang bisa memberi manfaat besar kepada masyarakat luas.

Lagi-lagi tulusnya teori Perda ini harus diakui sebagai upaya sinkronisasi tujuan besar bernegara yang didalamnya ada pemerintah sebagai pengelola anggaran yang di pungut dari pajak rakyat.

Atas dasar ini semua eksekutif PPE yang tempat duduknya pun dibeli dari uang rakyat harusnya memiliki tanggung jawab dan kesadaran penuh, membelanjakan setiap sen uang asal pajak untuk keperluan yang semestinya.

Sudahkah menagemen PPE melakukan tata kelola keuangan yang bersih dan akuntable?.

Masalah PPE sebenarnya telah muncul di tahun 2016 lalu setelah muncul hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yakni LHP/54/XVlll.BDG/12/2016 tanggal 22 November 2016. Dari laporan Hasil Pemeriksaan ini sudah terkuak bahwa PPE yang saat itu di komandani Radjab Tampubolon itu mengakumulasi kerugian alias tidak bisa merealisasi proyeksi keuntungan seperti yang mereka paparkan kepada pemegang saham tunggal yaitu Pemerintah Kabupaten Bogor. Ironisnya, ketidakberdayaan PPE di tahun itu sekaligus melumat penyertaan modal yang di tanam Pemkab Bogor hingga Rp 53 miliar lebih.

Sampai disini perlukah ada evaluasi kinerja jajaran direksi?, ternyata tidak. Pemkab Bogor ternyata memberi keputusan irasional. Sebagai pemegang saham satu satunya, Pemkab Bogor bahkan kembali menyusui PPE dengan menyuntikan dana hingga Rp 30 miliar atas permintaan managemen PPE.

Keputusan ini bukan tanpa sebab, namun keputusan ini layaknya keputusan bapak kepada anak yang tengah merengek akhirnya disetujui berdasarkan alasan normatif yakni kebutuhan fulus untuk keperluan operasional. Dikemasnya dengan Rencana Kerja Perusahaan 2016 berdasar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 10 Mei 2016.

Saat itu menjadi tahun keemasan managemen PPE. Dan istilah keemasan tidak selalu identik dengan prestasi kinerja yang luar biasa. Sebaliknya PPE mengalami tahun keemasannya karena banyak diberi keistimewaan.

Raport kinerja PPE sangat jeblok sebab pembukuan keuangan perusahaan plat merah ini banyak di temukan catatan merah. Namun tidak serta merta PPE menerima sanksi. managemen PPE bahkan di hadiahi penghargaan berupa uang tunai hingga Rp 30 miliar.

Kemana nasib uang Rp 30 miliar ini?. Belakangan juga menyisakan bau tidak sedap. PPE identik dengan potensial loss dari sisi keuangan dan bahkan ada bau menyengat yang sampai ke hidung masyarakat Bogor, bahwa ada indikasi tindak pidana korupsi di tata kelola fulus milik PPE.

Normatif prosedural yang di tuangkan dalam kebijakan Pemkab Bogor atas PPE menjadi pertanyaan. Sehingga menjadi rancu untuk menyebut kebijakan itu sebagai asli kebijakan yang populis atau ada kepentingan bahkan politik apalah apalah di dalamnya. Dari sini kita harus memetik hikmah kalau PPE saat ini jadi barang seksi karena jadi pergunjingan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu. (ful)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *