Bogor RayaHomeNasionalNewsPemerintahan

Ade Yasin Sampaikan Konsep Penyelamatan RTH di Kawasan Puncak

Jakarta, BogorUpdate.com
Bupati Bogor, Ade Yasin menyampaikan konsep pengendalian dan penertiban tanah dalam rangka penyelamatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan Puncak Bogor.

Hal itu disampaikan Ade Yasin di hadapan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada talkshow bertajuk “Kolaborasi Dalam Penyelamatan Kawasan Puncak Bogor”, di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta Selatan, Jumat (5/11/2021).

Ade Yasin menjelaskan, Ruang Terbuka Hijau yang difungsikan di kawasan Puncak berada di tiga wilayah yaitu Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, dengan luas wilayah 18.347,06 hektar. Ada hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan peruntukan perkebunan.

Jadi, kata Ade Yasin, yang disebut kawasan Puncak itu, Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, ini perlu dilakukan kembali pendataan, penataan, penertiban, pengendalian dan pengembalian fungsi tata ruang yang ditetapkan.

“Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW, red) kita akan melakukan revisi tentang keberadaan peruntukan kawasan hutan lindung dan penyesuaian Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur, yang berpotensi akan menambah RTH di kawasan Puncak,” jelas Ade.

Ade menambahkan, kalau dari tata ruang, kita sebetulnya sesuai dengan aturan. Apapun yang dibangun sudah sesuai dengan aturan, tetapi kadang-kadang ada pemegang hak HGU yang juga nakal jadi pemegang hak HGU dia seharusnya bertanam kopi misalkan tetapi tanah itu tidak ditanami kopi asal saja ditanam agar mereka terlihat seperti menanam kopi.

Tetapi di dalam tanah HGU itu ada tanah-tanah yang disewakan kepada investor, misalkan restoran, hotel dan lain sebagainya sehingga ini juga mengganggu konservasi disana.

“Ada beberapa HGU yang terbengkalai yang tidak diperpanjang, kenapa tidak disewakan ke DKI untuk jadi RTH, tetapi jangan ke negara lagi sewanya, ke Bogor dong, Bogor kan yang memelihara dan merawat, sehingga pemeliharaannya bisa diserahkan ke Bogor, tetapi kontribusinya dari Jakarta saya kira itu fair,” tambahnya.

Ade menyarankan, daripada sekarang HGU terbengkalai tetapi akhirnya dicaplok sama masyarakat, kalau masyarakat wajar lah, karena mereka mungkin tadinya bikin gubuk dulu, terus akhirnya jadi rumah.

“Ini juga kan kami selalu pantau karena tidak boleh juga, paling hanya bisa untuk berkebun dan lain-lain itu masih boleh,” saran nya.

“Yang paling sulit diantisipasi dan kita ga bisa galak adalah, yang beli kepada penggarap itu adalah orang-orang berdasi dan berpangkat. Istilah kami bangsawan lah begitu. Ketika bangsawan masuk, ya galakkan bangsawan daripada kita, ini kan agak sulit juga,” ujar Ade Yasin menambahkan.

Ade mengungkapkan, kemudian kendala lainnya di kawasan Puncak ini kan ada kewajiban dari perkebunan itu adalah menyisakan lahan 20% untuk plasma. Kalau diberikan kepada petani untuk mengelola misalkan perkebunan teh di sana, tidak mungkin semua bisa berkebun teh. Jika mereka berkebun teh pun, mau jual kemana. Jadi seharusnya plasma itu bisa dilakukan untuk komoditi lain, misalkan kopi, buah atau sawah.

“Kalau kebun teh rasanya hanya perusahaan besar yang bisa menggarap. Jadi setidaknya untuk menyelamatkan RTH itu plasma untuk kebun teh, tidak diberikan di perkebunan tersebut tetapi bisa berpindah ke yang lain. Misalkan di wilayah lain yang tidak untuk perkebunan teh. Jadi menyesuaikan dengan kemampuan petani, misalkan bisanya cabai atau bisanya sayuran dan lain-lain,” ungkap Ade.

“Saya kira, ini mungkin bisa menyelamatkan RTH juga karena ketika plasma itu diberikan kepada masyarakat, itu tidak hanya ditanami, barangkali dia buat rumah disitu, buat bangunan disitu dan lain lain. Kita tidak mungkin bisa mengawasi seterusnya plasma tersebut,” tutupnya.

Exit mobile version