Kasus Penyerobotan Lahan, Aktivis Jadi Korban

Cibinong – Bogor Update

Kasus penyerobotan lahan milik warga oleh Sentul City di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang terus berlanjut, perkaranya  kini memasuki sidang ke 13 di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Selasa (12/12/17).

Dalam perkara sengketa lahan itu, H Deni Gunarja yang juga aktivis pembela warga menjadi terdakwa. Dan untuk mengungkap perkara tersebut sedikitnya 23 saksi yang sudah di hadirkan di persidangan.

Kuasa hukum H Deni, Lava Sembada mengatakan, kasus tersebut bermula, pada penjualan lahan milik Purnaman di Blok Rahong, Desa Bojong Koneng, Babakan Madang seluas 7.500 meter persegi dengan bukti kepemilikan berupa akta jual beli (AJB).

Pada waktu itu, Oji dan Eman selaku pengamanan (PAM) lahan Sentul City menawarkan lahan terhadap H Deni seluas 7.500 meter persegi dengan harga Rp65.000,- permeter yang diketahui milik Purnaman.

Namun, sebelum disanggupi, terdakwa meyakinkan terhadap kedua orang tersebut bahwa lahan itu aman atau tidak bermasalah.

Setelah Oji dan Eman menyatakan bahwa lahan itu tidak bermasalah, lalu H Deni menyetujui dan lahan itu jadi di beli, tetapi dalam jual beli lahan itu tak utuh karena Eman ikut menjual lahan miliknya seluas 600 meter. Sehingga lahan yang dibeli H Deni menjadi 8.100 meter, dan secara sah kepemilikan lahan berpindah jadi milik H Deni.

Namun lanjut sang pengacara itu, Pada tahun 2014, lahan itu di klaim pihak Sentul City, dan melaporkan H Deni selaku pemilik lahan yang sah ke Polisi dengan dasar memiliki sertipikat seluas 2 hektar.

“Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dituangkan, dasar melaporkan  H Deni adalah pihak Sentul Sity memiliki sertifikat lahan seluas dua hektare dan mengaku dirugikan dengan nilai sebesar Rp43 miliar. Menurut kami dasar yang di tuangkan dalam BAP itu tidak jelas, dasarnya apa,” kata Larva usai sidang.

Sementara saat dipertanyakan dasar angka kerugian Rp34 miliar di meja persidangan, itu ternyata hanya asumsi bukan pakta.

“Kalau memang Sentul City merasa dirugikan, dari mana dirugikannya, karena sertifikat masih atas nama dia, lahan juga masih di kuasai dia. Dan lebih anehnya lagi Eman yang ikut menjual knapa tidak ikut jadi tersangka,” ujarnya.

Dengan demikian, dia menilai bahwa perkara ini dipaksakan, karena kliennya ditersangkakan sementara Eman yang notabennyenya orang sentul dan ikut menjual tanah tidak jadi tersangka. “Padahal Eman ini PAM Sentul City seharusnya menjaga lahan Sentul bukan malah ikut menjualnya,” cetus dia.

Lava juga mengatakan kejanggalan lain dalam proses perkara yang menjerat kliennya, karena H Deni dianggap memberikan keterangan palsu, sebab lahan yang dia beli dengan bukti kepemilikan AJB 7.500 menjadi 8100. Padahal jumlah itu ditambah dengan penjualan dari Eman seluas 600 meter.

“Luas 8.500 itu kan sudah ada hasil penghitungan dari Badan Pertanahan (BPN), padahal pada saat di beli H Deni dulu tanpa dilakukan pengukuran BPN, itu lah yang di maksud memalsukan keterangan,” jelasnya.

Untuk itu, dirinya mempertanyakan, siapa sebenarnya yang memasukan keteranagan, karena menurutnya luas lahan yang dituangkan dalam BAP itu hasil pemgukuran BPN.

“Yang memasukan keterangan itu ke dalam sertifikat itu, kan notaris atas dasar pengukuran BPN artinya itu hasil kerja aparat pemerintah resmi,” tuturnya.

Tak hanya itu kejanggalan lain kata dia, adalah batas, ini kejadian 2012 dengan penggarap bernama Darta, pada saat di periksa di Pengadilan dia (darta-red) memberikan keterangan yang tidak sama. “Disini terjadi lagi klain kami yang di korbankan bahwa dia memberikan ketetangan palsu,” tambahnya

Diakuinya, dalam perkara ini begitu banyak kejanggalan, karena tiba-tiba Sentul City mengklaim dengan alasan memiliki sertifikat.

“Seharusnya gugat perdata dulu dong, bagai mana Sentul tiba-tiba memiliki sertifikat, dasarnya dari mana proses pembebasannya kapan,” tegas dia.

Saat disinggung soal kordinasi ke BPN, menurut dia ketika proses negosiasi di BPN tidak ketemu titik terang, maka perkaranya akan di serahka  ke ranah hukum.

Sementara Istri terdakwa Dwi Evianti mengaku, suaminya di taha  sejak 12 September 2017, dia mengaku hanya menuntut keadilan.

“Saya hanya mohon keadilan, karena suami saya tidak melakukan semua yang di tuduhkan, kami juga sudah mengajukan untuk penangguhan penahanan  ke Kejati, Kejaksaan dan Pengadilan, namun semua ditolak,” kata wanita berkerudung itu. (As)

 

Editor: Endi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *