Cisarua, BogorUpdate.com – Prosesi kirab panji dan Mahkota Binokasih berlangsung khidmat di kawasan wisata Talaga Warna, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin (21/4/25).
Kegiatan ini menjadi bagian penting dari rangkaian Festival Keraton Sumedang Larang yang dimulai sejak 19 April di Ciamis dan akan berakhir pada 27 April 2025 di Sumedang.
Mahkota Binokasih, simbol kebesaran Kerajaan Sunda, disambut antusias oleh masyarakat, Forkopimcam Cisarua, para sesepuh dari Cisarua dan Sumedang, serta berbagai komunitas budaya. Kedatangannya ke Talaga Warna memiliki nilai filosofis yang dalam, menjadi penanda pertemuan sejarah dua kerajaan besar, Galuh dan Pakuan Pajajaran.
Kepala Desa Tugu Utara, Asep Ma’mun, menjelaskan bahwa singgahnya Mahkota Binokasih ke Talaga Warna bukanlah sekadar simbolis, melainkan bagian dari narasi sejarah Sunda yang sarat makna.
“Kirab ini momennya bertepatan dengan Hari Jadi Bogor. Prosesi akbarnya nanti digelar di Pemkab Bogor. Tapi sebelum itu, mahkota ini harus singgah di Talaga Warna sebagai simbol pertemuan sejarah peradaban Sunda,” ujar Asep.
Ia menambahkan, terdapat tiga poin utama dalam kirab budaya ini, yakni pemberdayaan literasi budaya, pelestarian (ngamumule) budaya Sunda, serta edukasi kepada masyarakat mengenai sejarah dan peradaban Kerajaan Pajajaran.
Sebagai bentuk apresiasi, prosesi ini juga disertai penyematan pin dari Keraton Sumedang Larang kepada para tokoh masyarakat Cisarua.
Hj. Rosmaya Intan Diana, seorang guru spiritual dan budayawan, mengungkapkan bahwa Talaga Warna memiliki posisi sakral sebagai warisan leluhur yang tidak diketahui pasti usianya.
“Talaga Warna melambangkan kekuatan alam dan keseimbangan. Air adalah sumber kehidupan. Di tempat inilah energi budaya dan spiritual bertemu,” ujarnya.
Menurutnya, Mahkota Binokasih adalah lambang penyatuan dua kerajaan oleh Prabu Siliwangi, atau Prabu Sri Baduga Maharaja. Ia juga menyebut Gunung Sumbung, yang kini lokasi menara Telkom di kawasan Puncak sebagai batas simbolis antara Galuh dan Pakuan Pajajaran.
Rosmaya juga mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian alam Puncak, mengaitkannya dengan berbagai bencana alam yang terjadi akibat rusaknya tatanan alam.
“Kami para karuhun tidak ridho jika alam rusak. Jangan sombong dan angkuh. Puncak ini adalah tanah sejarah, banyak situs dan makam leluhur yang belum tergali,” ujar Rosmaya dalam kondisi seperti kerasukan.
Kirab Mahkota Binokasih di Talaga Warna bukan hanya seremoni, melainkan bagian awal dari gerakan revitalisasi budaya Sunda. Sebuah upaya meneguhkan kembali nilai-nilai luhur seperti silih asah, silih asih, dan silih asuh, serta menyadarkan masyarakat untuk tidak melupakan akar sejarah dan warisan leluhurnya.
Festival ini menjadi momentum pengingat bahwa warisan budaya bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dijaga dan dilestarikan demi masa depan generasi Sunda. (Deni)