Oleh : Munjin Sulaeman
Opini, BogorUpdate.com – 100 hari kerja pertama pemerintahan suatu rezim sering kali dianggap sebagai indikator utama untuk mengevaluasi arah kebijakan yang akan diambil, serta sejauh mana komitmen pemerintah terhadap tujuan pembangunan jangka panjang. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden, evaluasi terhadap kebijakan pembangunan daerah dan nasional selama periode tersebut menjadi sangat penting. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa langkah awal dalam pemerintahan ini menghadirkan sejumlah kebijakan ambisius, evaluasi yang lebih kritis diperlukan untuk mengidentifikasi potensi kesenjangan antara retorika dan implementasi kebijakan di lapangan.
Sebagai pemimpin yang memikul tanggung jawab besar dalam merancang kebijakan nasional dan daerah, Prabowo dan Gibran harus berhadapan dengan tantangan struktural yang mendalam, baik dalam hal ketimpangan pembangunan antar daerah maupun dalam menghadapi kompleksitas global yang mengancam ketahanan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan analisis yang lebih kritis mengenai dampak kebijakan yang diambil dalam 100 hari pertama mereka terhadap pembangunan daerah dan nasional, serta sejauh mana kebijakan tersebut memenuhi janji-janji pemerintahan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Mengacu pada teori-teori pembangunan ekonomi dan sosial yang berakar pada pemikiran akademis yang telah berkembang. Seperti yang diungkapkan oleh Todaro dan Smith (2015), pembangunan yang sejati harus menekankan pada tiga aspek: pertumbuhan ekonomi, pemerataan hasil pembangunan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sementara itu, teori desentralisasi yang dikembangkan oleh Bahl dan Linn (2004) memberikan wawasan mengenai bagaimana pemberdayaan daerah dapat mempercepat pembangunan dan mengurangi ketimpangan. Namun, teori-teori tersebut juga mengingatkan bahwa implementasi desentralisasi tidak serta-merta menghilangkan ketimpangan antara pusat dan daerah, terutama ketika kapasitas administratif dan sumber daya di daerah terbatas.
Selain itu, konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Sachs (2015) dan Stern (2007) menjadi acuan penting dalam menilai sejauh mana kebijakan pemerintah dalam 100 hari pertama dapat mengintegrasikan dimensi sosial dan lingkungan dalam perencanaan pembangunan. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi, tetapi juga dari dampaknya terhadap ketahanan sosial dan ekologi.
Evaluasi Kebijakan Pembangunan Daerah: Menilai Efektivitas Otonomi Daerah
Salah satu kebijakan utama yang diluncurkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran adalah penguatan otonomi daerah, dengan harapan dapat menciptakan pemerataan pembangunan yang lebih adil di seluruh Indonesia. Namun, pendekatan ini harus dilihat secara kritis. Sebagaimana dikemukakan oleh Bahl dan Linn (2004), meskipun otonomi daerah memungkinkan daerah untuk mengelola sumber daya dan merencanakan kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal, hal ini sering kali terhambat oleh ketidakmerataan kapasitas dan sumber daya di antara pemerintah daerah. Tidak semua daerah memiliki kapasitas administratif atau anggaran yang cukup untuk menjalankan kebijakan pembangunan dengan efektif, dan ini berisiko memperburuk ketimpangan antar daerah.
Meskipun pemerintahan Prabowo-Gibran berkomitmen untuk mempercepat pembangunan daerah, kajian oleh Ranis dan Stewart (2000) menunjukkan bahwa otonomi daerah tanpa dukungan teknis dan finansial yang memadai dari pusat justru dapat memperburuk ketimpangan antara daerah yang lebih maju dan yang lebih tertinggal. Dalam hal ini, evaluasi terhadap kebijakan otonomi daerah selama 100 hari pertama perlu mempertimbangkan tidak hanya retorika yang mendukung pemerataan, tetapi juga realitas yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Pembangunan Infrastruktur: Antara Janji dan Realitas
Dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Prabowo-Gibran menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur sebagai tulang punggung penggerak ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik diharapkan dapat mengurangi biaya logistik, meningkatkan konektivitas antar daerah, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, dari perspektif kritis, kebijakan pembangunan infrastruktur ini perlu diperiksa lebih lanjut, terutama dalam konteks dampaknya terhadap ketimpangan sosial dan lingkungan.
Kajian oleh Aghion et al. (2009) mengingatkan bahwa meskipun pembangunan infrastruktur dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, hal ini tidak selalu menjamin pemerataan kesejahteraan, terutama jika kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi dan lingkungan yang mungkin timbul. Misalnya, proyek infrastruktur besar-besaran yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan sosial dapat menyebabkan ketimpangan, kerusakan ekologi, dan peningkatan ketidakadilan sosial.
Lebih lanjut, meskipun kebijakan ini berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tidak ada jaminan bahwa hal tersebut akan langsung mengatasi akar masalah kemiskinan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah tertinggal. Evaluasi terhadap dampak jangka panjang dari kebijakan pembangunan infrastruktur ini penting untuk menilai apakah manfaat yang dihasilkan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah terisolasi dan kurang berkembang.
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan: Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Salah satu aspek yang krusial namun sering terabaikan dalam kebijakan pembangunan adalah investasi dalam sumber daya manusia (SDM). Meskipun kebijakan pembangunan yang diambil selama 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung berfokus pada infrastruktur dan desentralisasi, penting untuk mempertanyakan sejauh mana kebijakan tersebut mencakup upaya konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Menurut Stern (2007), pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat tercapai jika aspek sosial, seperti pendidikan dan kesehatan, diberi perhatian yang memadai. Tanpa penguatan kapasitas sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur dan kebijakan ekonomi lainnya tidak akan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap kemajuan sosial masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintahan ini dalam 100 hari pertama perlu dilihat dalam konteks sejauh mana mereka mengintegrasikan pengembangan kapasitas SDM, terutama dalam sektor-sektor penting seperti pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kesehatan, yang akan berkontribusi pada pengurangan ketimpangan sosial.
100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran memberikan gambaran yang jelas mengenai arah kebijakan pembangunan yang diambil. Meskipun ada beberapa kebijakan yang menjanjikan, seperti penguatan otonomi daerah dan pembangunan infrastruktur, tantangan besar masih tetap ada dalam hal implementasi kebijakan tersebut. Evaluasi kritis terhadap kebijakan ini menunjukkan bahwa terdapat potensi ketimpangan dalam distribusi sumber daya dan kapasitas yang terbatas pada beberapa daerah, yang dapat menghambat tujuan pemerataan pembangunan.
Lebih jauh lagi, meskipun pembangunan infrastruktur merupakan elemen penting dalam pembangunan ekonomi, penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu, evaluasi 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran perlu dilakukan dengan lebih mendalam, agar kebijakan yang diterapkan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan merata. (**)