Marak Potensi Kecurangan di Program JKN, KPK Bentuk Tim Anti-Fraud

Nasional, BogorUpdate.com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan perannya sebagai lembaga pengawas dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia.

Hal itu seperti disampaikan, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, Kunto Arianto saat memberi pemaparan dalam pelaksanaan Media workshop dan anugerah lomba karya jurnalistik BPJS Kesehatan tahun 2020 yang bertemakan “Jaminan Kesehatan Nasional dan Adaptasi Kebiasaan Baru” yang diselenggarakan pada 22-23 Oktober 2020.

Kunto mengatakan, dalam pengawasan ditempatnya bertugas itu KPK telah lama fokus pada sektor kesehatan dan program JKN karena hal itu dianghap menyangkut hajat hidup oramg banyak, hingga melibatkan jumlah anggaran kesehatan yang makin besar, serta besarnya potensi penyimpangan di fasilitas kesehatan berdasarkan data fraud (Kecurangan, red) dalam klaim layanan kesehatan.

Menurut dia, potensi kecurangan program ini antaralain ketidakpastian, asimetris, eksternal, informasi
atau korupsi kecil yang tersebar di mana-mana melibatkan kerah putih.

“Sementara untuk peluang terjadinya korupsi adabya kelebihan perbekalan,
ada persekongkolan, atau usaha fiktif yang diklaim Rumah Sakit saat mengajukan pencairan ke BPJS Kesehatan,” kata Kunto dalam penyampaian saat zoom meeting bersama BPJS Kesehatan dan Kantor Cabang (KC) se-Indonesia, Kamis (22/10/2020).

Ia melanjutkan, Galat, penipuan, dan bisa melalui Pegawai (staf, red) dengan beban staf yang berlebihan, adapun kegagalan sistem pembayaran, kompleksitas manfaat, penipuan
Ketidakjujuran pelanggan yang dengan
mengeksploitasi sistem kompleksitas aturan dan peraturan.

“Korupsi eksploitasi desain
Kolusi antara staf dan staf penuntut, menerima suap atau kolusi antara staf dan pembayar,” paparnya.

Lebih lanjut ia menuturkan, untuk aspek lain dalam objek piloting tim bersama Kementerian Kesehatan-KPK-BPJSKes yakni utilisasi layanan operasi katarak pada 2014 bulan November sampai november 2017 kurang lebih ada 914 ribu kasus dengan biaya Rp6,16 Trilyun. Adanya indikasi untuk unnecessarry treatment (Pengobatan Yang Tidak Diperlukan, red) berupa prosedur laser setelah operasi katarak dan fragmentasi berupa operasi katarak sebanyak 2 kali per pasien. Utulisasi pelayanan fisioterapi sendiri, sambungnua, melebihi rekomendasi dari PERDOSRI (8-12x), maka indimasi fraud berupa fragmentasi, tagihan hantu, atau Pengobatan yang tidak perlu.

“Dari hal itu, kami mencatat ada layanan tercatat mencapai 27x dalam sebulan. Sementara data kredensialing memperlihatkan kurang lebih 68 persen rumah sakit kelas A hingga D tidak memenuhi Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai peraturan menteri kesehatan nomor 50 tahun 2014. Indimasi fraud berupa gratifikasi atau suap dalam proses penetapan kelas oleh pemangku kepentingan,” tegasnya.

Lebih lanjut Kunto mengingatkan, pembangunan budaya anti fraud dan komitmen dari pemimpin serta institusi adalah kunci utama pencegahan tindak pidana korupsi. Perlu adanya percepatan penerapan dan pelaksanaan tugas tim pencegahan dan penanganan kecurangan JKN sudah terbentuk.

Selain itu, sambungnya, tim anti fraud bukan untuk memberatkan para pemangku kepentingan tapi untuk mempermudah dan optimalisasi layanan program JKN, serta terbentuknya tatakelola perlu terus dilakukan dan dikawal pelaksanaannya sebagai bagian daei faktor pendukung keberhasilan dan keberlangsungan program JKN.

“Untuk membangun pemahaman mengenai program JKN dan potensi kecurangan di dalamnya perlu dukungan pemberitaan dari media,” tutupnya.

 

 

 

 

 

(Rul/Bing)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *