Ilustrasi beban psikologis. (Ist)
Kesehatan, BogorUpdate.com – Di era digital ini, berita buruk yang hadir nyaris tanpa henti, bisa menimbulkan beban psikologis. Berita tentang korupsi, ketidakadilan, krisis iklim, pengangguran, pembunuhan, narkoba, hingga kejahatan seksual dapat menjadi pemicu kita menjadi terus-menerus waspada, cemas, tertekan, overthinking atau bahkan putus asa.
Menghadapi kondisi tersebut, psikolog dari IPB University, Nur Islamiah, M.Psi, PhD mengingatkan masyarakat untuk tidak menjadikan berita sebagai santapan pertama di pagi hari atau sebelum tidur. Menurutnya, pada dua waktu tersebut, otak berada dalam kondisi paling rentan terhadap pengaruh emosional.
“Membuka hari dengan berita negatif dapat memicu stres sejak pagi, sementara mengaksesnya sebelum tidur dapat mengganggu kualitas istirahat dan memperburuk kecemasan,” urai sosok yang kerap disapa Bu Mia ini.
Lebih jauh Bu Mia menjelaskan, “Tanpa disadari, kita mungkin sedang mengalami apa yang oleh para ahli psikologi yang disebut sebagai media saturation overload, yaitu kondisi ketika otak dan emosi kita menjadi terlalu jenuh akibat paparan terus-menerus terhadap berita negatif dari berbagai platform, terutama media sosial.”
Menurutnya, fenomena tersebut bukan sekadar kejenuhan sesaat. Paparan konstan terhadap berita negatif menciptakan siklus stres psikologis, yaitu semakin sering kita menyimak berita buruk, semakin tinggi kecemasan yang kita rasakan, dan semakin sulit bagi pikiran untuk pulih dan tenang.
“Kelompok usia remaja dan dewasa awal menjadi populasi yang paling rentan, utamanya karena konsumsi mereka terhadap sosial media cenderung lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya,” jelasnya.
Namun, kata Bu Mia melanjutkan, “Kita tetap bisa menyikapi ini, salah satunya dengan menyadari bahwa kita punya kendali atas apa yang kita konsumsi, misalnya mengatur waktu dan frekuensi membaca berita serta memilih sumber yang kredibel.”
Selain itu, jeda perhatian dari media dengan aktivitas yang mendukung kesejahteraan psikologis, seperti olahraga ringan, ngobrol dengan keluarga, atau sekadar istirahat menghilangkan penat.
“Yang tidak kalah penting adalah menerima bahwa diri tidak harus selalu tahu segalanya. Dengan begitu, kita memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas di tengah derasnya arus informasi yang tak selalu ramah bagi jiwa,” pesannya.
Menjaga kewarasan, menurut Bu Mia, berarti tahu kapan perlu rehat, kapan harus berhenti dan kapan saatnya kembali terhubung untuk memahami, merespons dan berkontribusi dengan pikiran yang jernih dan hati yang utuh. (**/ipb)